Indeks Harga Konsumen (IHK) melandai secara tahunan dan terkontraksi atau deflasi secara bulanan. Kondisi ini ditengarai bukan hanya karena menurunnya harga pangan tetapi juga karena melemahya daya beli.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Kamis (1/8/2024) mengumumkan Indeks Harga Konsumen (IHK) turun atau mengalami deflasi sebesar 0,18% dibandingkan bulan sebelumnya (month to month/mtm). Secara tahunan (year on year/yoy), IHK naik atau mencatat inflasi sebesar 2,13%.
Deflasi yang terjadi pada Juli 2024 adalah yang ketiga kalinya secara beruntun. Pada Mei 2024 juga terjadi deflasi sebesar 0,03%, sebesar 0,08% pada Juni 2024, dan sebesar 0,18% pada Juli 2024.
Dilihat dari data tahunan (yoy), inflasi dengan cepat dari 3% pada April 2024 menjadi 2,13% pada Juli 2024.
BPS menjelaskan deflasi pada Juli lebih disebabkan oleh menurunnya harga barang terkhusus pangan. Tiga komoditas utama yang punya bobot cukup besar dalam menentukan IHK yakni beras, gula pasir, dan minyak goreng terpantau cukup stabil namun dengan kecenderungan menurun.
Berdasarkan data Pusat Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menunjukkan bahwa harga beras cenderung menurun dari titik tertingginya pada April 2024. Penurunan harga beras terus terjadi secara beruntun yakni pada Mei, Juni, Juli, hingga awal Agustus 2024.
Harga gula pasir juga tampak mengalami penurunan pada Juli 2024 dibandingkan periode Juni 2024. Sementara minyak goreng cenderung mengalami kenaikan pada Juli dan awal Agustus 2024.
Sejumlah analis menjelaskan deflasi beruntun adalah sinyal jika daya beli masyarakat Indonesia tengah turun. Terlebih, sejumlah indikator menunjukkan adanya tekanan pada konsumsi.
Ekonom Bank Central Asia (BCA), Barra Kukuh Mamia menyampaikan bahwa pelemahan daya beli memang menjadi salah satu penyebab deflasi. Namun, hal tersebut bukan satu-satunya faktor penentu.
“Pelemahan daya beli mostly terjadi di kalangan kelas bawah sedangkan kelas atas cenderung menahan belanja. Selain itu, harga pangan mulai turun karena efek El Nino sudah mulai reda dan ekspektasi market juga sekarang bahwa produksi beras global mulai OK lagi,” ujar Barra kepada CNBC Indonesia.
Senada, ekonom Bank Danamon Hosianna Situmorang juga menjelaskan mayoritas karena deflasi di kelompok bahan pangan serta adanya tekanan pada kondisi pekerja Indonesia.
“Terjadi penurunan jumlah pekerja yg merupakan terendah sejak September 2021. Yang ini merupakan dampak dari rambatan suku bunga tinggi di global tentunya, karena patternnya global dan domestic sudah sama, yaitu deflasi dan pelemahan kondisi tenaga kerja,” ujar Hosianna kepada CNBC Indonesia.
Data S&P menunjukkan perusahaan memilih untuk mengurangi jumlah staf untuk ketiga kalinya dalam empat bulan terakhir.
“Produsen memilih untuk mengurangi aktivitas pembelian mereka pada Juli. Kondisi ini adalah yang pertama sejak Agustus 2021. Jumlah pekerja juga dipangkas dengan angka pengurangan yang terbesar dalam hampir tiga tahun. Ada banyak laporan tentang tidak diperpanjangnya kontrak karyawan yang sudah habis masa berlakunya,” ujar S&P dalam laporan PMI Manufaktur Juli 2024.
Banyaknya PHK membuat banyak orang mesti menahan atau mengurangi belanja sehingga berdampak kepada kemampuan daya beli.
Harga Pangan Sudah Terlalu Tinggi, Pendapatan Naik Tipis
Kendati harga pangan melandai dalam tiga bulan terakhir tetapi levelnya sudah sangat tinggi.
Tekanan hebat pada harga pangan dan energi sangat kencang sejak 2022. Setelah perang Rusia-Ukraina meletus pada Februari 2022, harga komoditas pangan dan energi melejit.
Berkali-kali harga pangan menjadi penyumbang inflasi tertinggi mulai dari minyak goreng, cabai, hingga telur. Puncaknya adalah naiknya harga BBM subsidi mulai dan Pertalite, solar hingga Pertamax pada awal September 2022.
Kenaikan harga BBM mengerek harga barang lainnya mulai dari transportasi hingga makanan jadi. Tekanan kepada masyarakat Indonesia bertambah saat harga beras mulai menanjak naik pada akhir 2022 hingga awal 2024.
Data PIHPSN atas data bulanan menunjukkan harga beras dalam dua tahun terakhir atau pada periode Agustus 2022-Juli 2024 sudah melesat Rp 3.600 atau 28% per kg pada Juli 2024, harga minyak goreng sudah melesat Rp 1.300 atau 9,12% dan harga gula pasir menanjak Rp 3.200 per kg atau 20,4%.
Harga beras bahkan terus mencetak rekor demi rekor dan sempat menembus Rp 18.000/kg di beberapa wilayah pada Februari 2024.
Beras, gula, dan minyak goreng adalah bahan pangan utama Indonesia dan menjadi salah satu pengeluaran terbesar keluarga.
Selain ketiga komoditas, harga bahan pangan lain juga sempat melonjak drastis seperti telur hingga daging ayam.
Saat harga naik maka pilihan yang dihadapi konsumen adalah membeli barang yang sama dengan jumlah yang sama dengan harga lebih mahal atau mengurangi jumlah pembelian.
Konsumen juga mengubah pola konsumsi jika sebelumnya membeli ayam maka beralih ke telur.
Kenaikan harga pangan dan energi pada 2022-2023 juga terekam di inflasi.
Inflasi melonjak dari 5,51% pada 2022 sebelum melandai lagi ke 2,61% pada 2023.
Lonjakan inflasi tidak diimbangi dengan kenaikan upah pekerja. Upah Minimum Provinsi (UMP) tidak naik pada 2021 dan hanya naik 1,09% pada 2022. Kenaikan UMP pada 2023 rata-rata mencapai 7,5%.
Di sisi lain, banyak pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), pada periode Januari-Juni 2024 terdapat 32.064 orang tenaga kerja yang terkena PHK. Angka tersebut naik 21,4% dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 26.400 orang
PHK membuat orang kehilangan kerja dan pendapatan sementara di sisi lain mereka harus tetap makan.
Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menjelaskan ketika pendapatan masyarakat turun, mereka akan tetap mempertahankan konsumsi kebutuhan pokoknya, seperti makanan. Jika pendapatan menurun, sedangkan konsumsi makanan tetap, maka porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya akan meningkat.
“Hukum Engel mengajarkan: semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar porsi konsumsi makanan dalam total pengeluarannya. Itu sebabnya, kenaikan porsi makanan dalam total belanja mencerminkan menurunnya daya beli,” imbuh Chatib.